Masih di
kamar UGD, perawat ambil tindakan periksa perutku, dinyatakan bahwa posisi bayi
adalah melintang. “Ci, tulung jupukno Hpku nok dalam tasku Ci,” pintaku.
Sesegera Sonea memberikan HP itu ke aku. “Halo Pi, mi sekarang ada di RSUD. Td
ketuban mi pecah di mushola kantor, ini mi diantar ebes emes n Pak Sitrin,” sapaku ke suamiku saat
itu masih di Lumajang.
Kaget juga
suamiku tiba-tiba aku telepon mendengar bahwa ketuban pecah dan aku sekarang di
RSUD. Tanpa pikir panjang diseberang sana suami hanya menjawab, “Oalah Mi...
yok opo seh kok isu ngunu?, iyo iki pi tak langsung pulang,”.
Langsung
saja hari itu pukul 4 suami pulang tanpa mampir ke kosannya dulu untuk
mengambil baju-baju kotor melakukan perjalanan menuju RSUD dalam keadaan panik
juga.
Perawat melakukan
suntik pencegah agar ketuban tidak merembes
secara terus menerus dilakukan sekali saat di UGD. “Ci, aku pamit pulang sik
ya, kamu yang kuat ya Ci, yakin ya Ci, kamu pasti bisa!” pamit Sonea.
“Iyo Ci,
suwun yo wes melu nganter aku. Doain
aku yo Ci, aku wedi di operasi (caesar, red),”
sedihku. “Iyo Ci tak doain mugo-mugo kamu lahiran normal ya...,” doa Nea. Dan
Pak Sitrin pamit juga pulang bareng Nea.
Tinggalah
aku sendiri masih kondisi mulut terus komat-kamit bersholawat, terkadang masih
ada dalam benakku kekhawatiran aku bakal di caesar.
“Berdoa
terus, yakin ndak caesar yo,” mamiku memberikan semangatnya.
Pukul 5 sore
akupun dipindah ke ruangan persalinan. Disana hanya ada mamiku yang senantiasa
menemaniku, mulai dari lahiran anak pertama sampai keduapun dengan setianya
beliau selalu ada dismapingku.
Hampir
maghrib papiku datang bersama anak sulungku, Kayla. “Embak, embak kok ikut Nak,
besok imunisasi di sekolahan ya mbak.... gak boleh nangis ya,” khawatirku
padanya. Karena urusan sekolahnya semuanya masih aku yang cepak-cepakkin. Jadi wajar saja kalo misalkan saat ini aku yang
terbaring di kasur hanya bisa membayangkannya imunisasi tanpa aku.
“Adek kok
ikut ke rumah sakit dek. Di Rumah sakit itu banyak kuman dan bibit-bibit
penyakit,” jelas perawat. Dan mau tidak mau yang ketemu si sulung sebentar saja
diapun di antar pulang kembali oleh papiku.
“Assalamu’alaikum,”
sapa suamiku dibalik pintu sambil masuk ke dalam kamar persalinan. Suami pun
membawa beberapa pakaian ganti, peralatan mandi, beberapa baju bayi, dsb, yang
sore itu tidak sempat aku bawa kendati pecah ketuban di mushola kantor.
Ditemani
suami dan mami sepanjang malam sampai pukul 22.00 WIB suami pamit pulang,
karena mobilnya parkir di halaman sisi utara RSUD, harus segera dipindah ke
tempat yang lebih aman, jukir sudah pulang juga kalau malam batasnya adalah
pukul 20.00 atau 8 jam.
“Gak papa sampeyan pulang dulu mas, biar saya
aja yang jaga. Gantian biar besok bisa datang lagi,”. saran mamiku.
Mamikupun
akhirnya aku suruh tidur waktu itu pukul 23.00 WIB. Sementara aku yang
terbaring di ranjang, masih belum percaya bahwa ketubanku masih saja merembes
sedikit-sedikit, kiranya suster sudah memberikan suntikan anti rembes ketuban.
Diagnosa
sementara adalah memulihkan kondisi ketuban yang telah keluar sebelum waktu
lahiran, dengan menginjeksi suntikan antibiotik, hasil akhirnya adalah besok
pagi dokter akan melakukan observasi jika hasil observasi memungkinkan menunda
kelahiran sampai bulan depan.
Begitulah
penjelasan dokter kandungan yang menangani atas saran Pak Sitrin (lagi), dr.
Slamet, SpOg yang merupakan dokter senior memiliki segudang pengalaman
tentunya.
Sekitar
pukul 00.15 WIB mamiku bangun dan menanyakan kondisiku saat itu bagaimana.
“Piye, sik merembes ketubane?,” tanya mami.
“Ndak mam, tapi ini aku kok sakit banget
kaya pembukaan ta mam?,” tanyaku.
Dan mamiku
iji untuk menunaikan shalat tahajud pada jam itu. Selesai shalat tahajud, mami
mendekatiku yang memang aku menahan rasa sakit meskipun sedikit sering rasa itu
datang.
Mules ilang-mules ilang begitulah kondisiku waktu itu.
Sementara
grup WA kantor pada menyemangati agar aku kuat, agar aku bisa bertahan,
meskipun kondisi bayi melintang.
Memang
kondisi bayi melintang itulah membuat aku merasakan kekhawatiran lahiran secara
caesar. Selalu aku aku doa dan mengusapkannya ke perut sambil berbisik pada
jabang bayi, “Dek, muter ya dek, pinter ya Nak, mami takut operasi, dek,”
doaku.
Rasa mual-ilang itu semakin kerap kali ini,
yang tadinya hanya 1 jaman datang tidak waktu itu menunjukkan sekitar pukul
02.00 WIB.
Hingga
akhirnya aku tidak kuat juga, mamiku sesegera mungkin memanggil suster yang
tertidur pulas di ruangannya, beberapa kamar persalinanku.
“Sus, sus,
pasien Dewi kok sepertinya mau lahiran, ya,?” bangun mamiku pada suster rumah
sakit yang memang enak terlelap dikeheningan malam waktu itu.
Tak berapa
lama, sejaman, lahir bayi lucu nan ganteng. Aku dan suami beri nama Kavin
Fawwaz Diandra Putra, yang artinya kurang lebih seperti ini Anak Lelaku Wahyudi
dan Rani yang berparas ganteng.
Lahiran normal
tidak operasi adalah wujud kesabaran selama ini, posisi melintang sampai dengan
kembali pada posisi normal adalah sebuah keajaibanNya.