Selasa, 01 September 2020

Jangan Ada Rokok Diantara Kita

 

Kami sebidang Pengelolaan Komunikasi Publik (PKP) terdiri dari Kabid, Kasi Kemiteraan, aku dan seorang staf PKP menilik Edwin staf Bidang TIK yang jatuh sakit akibat perokok pasif. Ya, dia menderita paru-paru basah dan apa gitu dari ceritanya, yang pasti akibat menjadi korban perokok pasif akhirnya dia jatuh sakit dan dirawat di RS PG Wonolangan, Kabupaten Probolinggo pada September 2019 tahun lalu.

Singkat cerita kantorku mengalami renovasi pada ruang belakang, dimana ruang belakang itu adalah ruang staf dan kasi. Ruang staf dari 3 bidang berkumpul disana. Kondisinya memang cukup mengkhawatirkan, plafon atapnya hampir ambrol / rubuh.

Sehingga, penghuni ruang belakang itu akhirnya mengungsi dan menempati ruang dalam dan luar gedung kantor kami. Kebetulan kantor kami satu halaman dengan SMK PGRI, guru-guru SMK PGRI dengan ramah tamah menawarkan ruang belakang sekolahnya bisa ditempati oleh teman-teman kami.

Akhirnya, ruang belakang sekolahpun disulap ruang kerja dan kantin kopi-kopi. Ya, bakat mengelola uang anak prakerin pun menjadi tempat kerja dan tempat tongkrongan. Kurang lebih 8 orang staf menempati ruang belakang sekolah itu.

Meskipun 8 orang itu terkadang tak memiliki meja dan silih berganti nongkrong disana, mereka bisa ngopi dan ngerokok.

Kurang lebih selama renovasi ruang staf berlangsung sampai renovasi belum tuntas (selesai), Edwin staf TIK, jatuh sakit.

Usut punya usut dia bercerita juga, kalau dia adalah perokok pasif menempati ruang belakang sekolah menjadi tempat pikopi dan kokrokok, hehe……

Betul dugaanku selama ini, aku hanya membatin, akhir-akhir ini kok tidak pernah melihat Edwin kemana. Akhirnya aku Tanya ke kasiku, Bu Tatik namanya. Obrolanpun terjadi, “Buk, aku kok gak pernah liat Edwin, yo?”.

“Sakit mb, dirawat di RS Wonolangan,” kata wanita 3 orang anak sukses itu.

“Lho buk, sakit apa?. Mungkin dia perokok pasif itu buk? Kan banyak sing ngerokok tuh di sana (ruang belakang sekolah),” kataku kaget.

Aku tuh memang kuper yaa, selama 5 tahun terakhir sejak kepindahanku ke Diskominfo 2015 silam, masalah kantor uda gak pernah aktif dalam pergosipan, jadi segala dunia perghibahan, aku sudah pensiun dini. Hahaha……

Sepulang dari survey pembuatan stand untuk SEMIPRO dan Pekan KIM Magetan, kami mampir menjenguk Edwin.

“Assalamu’alaikum,” sapa bapak kabidku sembari buka pintu kamar inapnya

“Waalaikum salam,” jawab Edwin yang saat itu duduk di pinggir ranjang sembari memegang hp.

“Lho, saya sudah tidak apa-apa lho pak, buk,” sambut Edwin merasa canggung dan sungkan atas kedatangan kami.

“Yo santai aja mas, kami baru datang dari survey pembuatan stand dan maaf teman-teman bidang lain belum bisa gabung, (Dwindri, Pak Data, Bu Trin),” ucap kabidku.

“Gimana ceritanya Ko, kok sakit? Tubuhnya semakin kurus gitu rek….,” tanyaku.

“Jadi saya ini kena paru-paru basah, bla… bla… bla….. pembakaran vape tidak sempurna, karena sifatnya sudah basah (cairannya), dibakar dan dihirup, bla…. bla…. bla….,” ungkap Edwin bercerita panjang kali lebar dan tinggi itu. Hahaha……

Maaf, untuk penjelasan Edwin ini benar-benar lupa aku, maklum kejadian sudah September 2019 tahun lalu dan aku harus mengingat-ingatnya lagi hampir di bulan September 2020. Hikss……

Dipenghujung sambang, istri Edwin pun datang, dengan seragam kantornya sebagai pegawai Pengadilan Negeri Kota Probolinggo menyambut kedatangan kami.

Kami berempat pun berpamitan.

“Nah kan buk, betuk aku kan!!! Edwin iku kenek rokok, apalagi dia perokok pasif, duhhh….,” ucapku menyusur jalanan rumah sakit menuju parkiran mobil.

“Iyo mbak, payah wes…..,” timpal Bu Tatik.

“Duh, di kantor itu ada Pak Data buk, opo maneh dia ngerokok di dalam ruangan kita. Duh…….,” masih saja aku mengkhawatirkan nasib perokok pasif itu.

“Iyolah mbak, pak Data, wes dikandani gak mempan. Aku dan Bu Trin ngandani mulai tahun wingi (2018) yo tetep, sampek kesel,” ucapnya.

Memang sejak awal tahun 2019, aku roling staf dari staf bidang TIK menjadi staf bidang PKP itu seruangan dengan Pak Data perokok vape itu.

Sebelumnya di bidang TIK, ada seorang kasi perokok, 2 orang kasi lainnya dan kabid tidak merokok. Kasi perokok itu ya merokok di ruangannya sendiri, terpisah dengan ruanganku dan 2 kasi kabidku. Jadi amanlah yaa….. hehehe…..

Tiba di kantor dan masuk ruang PKP, ada Dwindri dan Pak Data di masing-masing tempat duduknya.

Aku naruh tasku dan obrolan pun terjadi.

“Eh pak Dat………. Sampeyan ojo ngerokok wes pak, opo maneh vape, iku Edwin sakit gara-gara perokok pasif di ruangn belakang iku kan akeh anak-anak nongkrong di sana, rokok’an pi ngopi,” ucapku menggebu.

Mas Dwindri kaget, mungkin di dalam hatinya, “Waduh mbak Dewi iki kok berani nyuruh pak Data berhenti merokok,” batinnya dalam hati.

“Mbahku dari mamaku sama mbah e bojoku dari ibunya, juga gitu lho pak…… perokok puluhan tahun, sampai akhirnya sakit dan divonis kanker paru-paru, ya udah terlambat mau ngasih tau anak cucunya buat berhenti merokok. Lha wong dia (kedua mbah) berhentinya pas uda sakit kanker paru,” ucapku lagi.

“Sori lho pak……. Aku ngandani ngene mergane aku iki khawatir, pengen sampeyan mandek rokok’ane, syukur-syukur iso mandek. Gak mandek yo gak popo, tapi aku ngelingno maneh, eman. Pancen ngerokok iku hak e uwong sih” ucapku lagi.

“Jare Edwin vape pembakarane gak sempurna pak Dat…. Bla blab la bla bla…. (aku menceritakan apa yang Edwin ceritakan, yang pasti waktu itu aku masih ingat, kan baru pulang jenguk),” hihihihi…..

 

Dengan kesalnya, pak Datapun menjawab. “Coba endi wik, onok penelitian e ta? Kene kasihno ke aku,” ucapnya sembari mengisap vape dalam ruangan.

“Yo aku ndak duwe penelitian e lah pak, iki aku dapat info dari Edwin, iku Edwin sakit pak, dia kebanyakan menghirup asap rokok n vape e arek-arek. Kan Edwin gak rokok’an pak. Otomatis piye iki nok ruangan sing ndak rokokan, aku, pak marno, pak imam, bu trin, bu tatik n mas dwindri,” kataku kesal.

“Aku yo pak, biyen onok sing ngenalno ke aku. Pas SMA onok sing ape nyomblangin aku, ngenalkan cowok. Q Tanya ke temanku cewek, anaknya rokok’an gak Yov? (temanku Yovie, cewek).

“Iyo Dewa, anaknya rokok’an, tapi anaknya ganteng lho…..,” kata Yovie.

“Enggak Yov,” jawabku.

Otomatis temanku agak kecewalah yaa….. atau kalo gak merokok, pertanyaan kedua yang aku lontarkan adalah, apa dia rajin sholat? Atau gimana sholatnya?

Hahaha……. Sampai-sampai temanku bilang yo repot Dewa iki, angel…… cari ustad ae, hahaha……

Padahal aku sih santai sajalah….. no rokok, no tindik, no tato, no miras, rajin sholat, baik, itu yang utama, hehehe…..

Aku bercerita begitu, pak Data dan mas Dwindri hanya senyum-senyum, manggu-manggut. Hahahaha…..

Waktu berlalupun mengantarkan bidang kami pada peleburan seksi-seksi. Yup, awal tahun 2020 bidang PKP meleburkan diri, pun bidang Pelayanan Informasi Publik (PIP) mengalami hal yang sama. Jadi seksi opini publik tadinya ada di bidang PKP pindah ke bidang PIP, seksi media publikpun masuk ke bidang PKP sebelumnya dari PIP.

Huuufftttt….. jangan bingung-bingung yaa…. Anggap aja paham, hehe…..

Ya, seksi media publik (radio) merupakan seksi pak Data. Ketemulah aku kembali sebidang dengannya tapi aku bukan staf langsung dia. Dan alamat kerjaku pun berpindah ke radio, di gang sebelah kantorku, Jalan Suroyo.

Singkat cerita, kepindahanku ke radio aku duduk dengan Carolina. Saat aku dan Carolina bercerita-cerita, datanglah pak Data ikut ngobrol di tempat kerja kami.

“Kok gak pernah kelihatan sampeyan ngevep pak? (vape) maksudnya,” sapaku.

“Endi wik, aku wes leren ndak rokok’an maneh,” jawabnya.

Langsung aku heboh dan syok kali ya, dengan pengakuannya jawabnya seperti itu.

“Hah……. Sampeyan gak ngerokok pak? Mulai kapan pak??? Opo’o kok berhenti?,” balasku kaget.

“Yo aku piker-pikir, sedino ngerokok paling gak habis 30 ribu. Iku sedino, lek sebulan, yo kurang lebih 900 ribu. Akeh pisan yo? Terus aku mikir, iku duwit, durung kesehatan, paruku, jantungku,” jawab pak Data sambil menghela nafas panjang.

“Lho pak, Alhamdulillah…. Melu seneng lho aku pak…… ngunu talah sampeyan ndak ket biyen ae mandek rokok’an. Lak tambah ganteng,“ jawabku sumringah melihat salah satu teman kantor berhenti merokok.

“Terus pak, uang e sampeyan utuh 900 ribu dunk, lumayan gak usa dikasih ke bojo e peyan pak, kan duwit lanang, hehe…..,” kataku.

“Iyolah wik, lumayan, aku iso njajan-njajan shopee,” kata pak Data.

Hahaha….. kamipun tertawa.

Sampai bulan September 2020, bulan ke sembilan dia berhenti merokok atau ngevape patut diacungi 2 jempol.

“Semoga istiqomah yo pak,” kataku ke dia.

Yaa, pak Data merupakan orang kedua setelah mas kandungku berhenti merokok, karena adeknya dan temannya.

Alhamdulillah yaa…. Jangan ada rokok diantara kita. Semangat yaa bagi teman-teman yang mau berhenti merokok, nih aku kasih tips dan trik.

1. ingatlah keluargamu, kalau rokok saja membuatmu enak, tapi mengapa saat kamu sakit akibat merokok, malah keluargamu yang menanggungnya L

2. ingatlah keluargamu, mereka tak merokok, tapi menghirup asap rokokmu yang jauh beresiko lebih para daripada perokok aktif L

3. ingatlah keluargamu, kamu secara tidak langsung memberikan contoh tidak baik pada anak-anakmu. Tapi kamu marah saat anakmu mengenal rokok dan ikut menikmatinya L (bapakku saja rokok’an, kenapa aku gak boleh merokok juga???)

Yang pasti ngerokok itu gak ada gunanya guys, jangan beranggapan gak rokok gak keren, gak macho, gak lanang. Otak gak bisa mikir, gak bisa kerja, ruwet.

Enggak yaa guys, buktinya kamu bisa lebih berhemat ratusan ribu rupiah dan akhirnya belanja-belanja, iiihhh…. Keren guys J

Otak gak bisa mikir, gak bisa kerja, itu kan keruwetan pikiranmu sendiri. Huufffttt…..

Udahlah, yang penting pokoknya berhenti aja dulu, cobain, rasain, nikmatin nanti kamu bakal bahagia lahir dan batin. Aamiin YRA.

 

Kamis, 23 Juli 2020

NASIB MALANG, HIPOTERMIA SAAT PILIH KAMPUS


Berawal dari ngefans gitaris DEWA 19, Andra Ramadhan, selain dia memiliki pribadi kalem, pendiam, pintar, rajin shalat, wajah manis tidak tindik telinga, tidak bertato dan terakhir dia bukan perokok, tentulah sangat menginspirasi aku saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP (tahun 2003 waktu itu).

Sampai tibalah saatnya cinta-cintaan monyet, dimulai kelas 3 SMP, ada yang naksir aku mulai dari sahabat cowok sendiri sampai teman satu kelas, pokoknya dia bukan perokok aja, uda klepek-klepek hatiku.

Ya, sahabatku cowok pun berhasil mendekatiku, pendaftaran masuk di SMAN 2 dia pun ikut, bimbingan belajar, dia pun sama denganku, kita bimbel di Malang, tetapi beda tempat bimbelnya. Aku di Universitas Negeri Malang (UNM), dia di Universitas Brawijaya (UB).

Saat bimbel dengan sahabat SMA, Irma, aku jatuh sakit karena tidak tahan udara Kota Malang yang menurutku dingin. Berbeda dengan kota asalku, daerah pesisir pantai tergolong panas. Saat Irma belajar dengan seriusnya di kamar yang sama denganku, kami kos berdua di sekitar UNM setelah sehari sebelumnya diantar orang tuaku.

“Mi ndak belajar?” tanya Irma.
Dia memanggilku sebutan mi karena melihat aku memanggil mamaku dengan sebutan mami, jadi inginnya Irma diibaratkan anakku, hahaha…..
Aku sendiri kala itu memanggilnya dengan sebutan, mbak. Karena melihat dia dipanggil orang tuanya, mbak, hihihi…..
“Ndak mbak, aku kademen, sumpah ndak kuat aku,” jawabku dibalik selimut menggigil.
“Lha terus, kalo sampeyan ndak lulus ujian seleksi mahasiswa UB, piye?” tanyanya lagi heran.
“Ndak popo mbak, aku wes ndak gelem kuliah nang Malang, aku kuliah nang Suroboyo ae,” jawabku kecewa.

Memang sebelum kelulusan SMA aku dulu berangan-angan ingin melanjutkan studi S1 di Malang. Sangat cinta sekali dengan kota itu. Mungkin disana pernah aku didekatin masnya temanku (cewek), dia kuliah di UB Malang juga.
Masnya temanku naksir aku, tetapi karena aku adalah temannya adeknya, dia hanya menjadi teman dekatku tidak sampai pacaran.
Perasaanku waktu itu pada mas temanku, biasa saja, suka hanya sebatas menemaniku karena aku tidak mau kesepian. Biasalah yaa, anak remaja maunya jalan-jalan terus.

Terjadilah aku berambisi untuk melanjutkan kuliah di Malang, agar aku dekat dengan dia, UB.
Sedangkan dalam percakapanku dengan mas kandungku yang saat itu semester akhir jurusan teknik arsitektur UPN Veteran Surabaya selalu dengan ambisinya mempengaruhiku agar aku kuliah di UPNV Surabaya juga.
Dengan pertimbangan jika kita bisa kuliah bersama di Surabaya apalagi di kampus yang sama, tentu memudahkan orang tua yang ingin menjenguk anak-anaknya.
“Kuliah nang Suroboyo ae, dek!,” ucap mas Eka di depan papiku.
“Ndak, Malang pokok’ e,” elakku mantap.
“Wooo… iki…. Ben papi mami enak lho lek ate nang Suroboyo. Iso sambaing anak dua sekaligus, aku sama kamu,” yakin masku lagi.
“Nehik, Malang. Aku kuliah di Malang aja lho pap, pokoknya pengen Malang. Papi kan dulu kuliah di UB, aku pengen di UB juga pap,” ucapku tetap mengelak.
“Mosok papi ape riwa riwi Malang-Suroboyo, bingung saiki jatah e Eka opo Rani, saaken lho,” masku dengan menggebunya.
Betul, sering sekali papi melakukan perjalanan dinas ke Kota Pahlawan untuk rapat-rapat, sosialisasi, kunker, dan sebagainya.
Ya, memang orang tuaku tidak pernah memaksakan kehendak anak-anaknya, mereka hanya mengarahkan saja apa yang menjadi keinginan anak-anaknya.
“Wes Jon, Rani ben kuliah nang Malang,” ucap papi mengiyakanku, Jon sebutan papi pada masku, Eka Sarjono.
Mungkin waktu itu masku kesel juga kali yaa, karena keinginannya agar aku mengikuti kuliah di Surabaya, terelakkan. Hahaha….

Nah, balik ke bimbel, jadi selama aku bimbel di Malang setiap harinya gak pernah belajar. Uda aku niati, enggak lulus UB yo wes, ben. Hihihi….
“Mi, gak maghriban?. Ayo golek maem,” selesai Irma menunaikan sholat maghrib.
“Lho iyo mbak, maghriban, sek iki aku kademen. Ta sholat disek yaa, biz gitu kita cari maem,” jawabku layu.
Penuh perjuangan aku ambil wudlu di kamar mandi, maklum tiap sore aku tidak pernah mandi. Hanya gosok gigi dan bersih-bersih wajah. Irmapun memakluminya, setelah aku cerita tidak pernah mandi sore.
Mungkin daripada aku semakin hipotermia, mati kaku, akhirnya Irma angguk-angguk kepala memaklumi. Hehehe…..

Yup, selesai kami sholat maghrib berdua berjalan ke luar cari makan. Setelah pamitan ke ibu kos, kami melewati pinggiran jalan belakang kampus UNM.
Sampai di jalan utama depan Matos, secepat mungkin kami kembali berjalan balik melewati pinggiran jalan belakang kampus UNM.
Seandainya kalau aku tidak sakit kedinginan waktu itu, mungkin kami malah main-main aja tuh di Matos, waduuuhhh……

Perjalanan pulang beli makan, aku menuju arah kos bimbel, berlawanan arah sekitar 200 meter dua orang cowok, tinggi banget satunya tinggi standart cowok, agak menerka-nerka kami berempat.
“Lho mbak, iku Oscar mbek Dodik, ta?,” tanyaku.
“Lho iyo Mi, koyo’e Oscar-Dodik,” terka Irma juga.
Di arah berlawanan yang semakin dekat juga mereka menerka.
Maklum kami berempat asli Probolinggo tiba di kota tetangga tanpa ada saudara dan keluarga, tetiba ketemu di jalan berasa bahagia anak perantauan waktu itu.
“Heh, Yus!” sapa Oscar panggilan sahabat sejak SMPN 2, aku dipanggil Yustise oleh 8 orang sahabat.
Widji, Yatik, Wiwit, Puput, Oscar, Dodik, Dicky dan aku menamakan kami Star Love sebagai nama sahabat.
“Ya ampun Oscar Dodik, kita ketemu juga yaa disini, aku sakit Os,” ucapku girang bertemu dengannya.
“Kamu sakit apa, Yus?”, Tanya Oscar kaget.
“Kedinginan aku, Os,” sambil melihat penampilanku memakai jaket hitam pas body, celana tujuh per delapan, kaos kaki dan memakai sepatu sandal.
“Iyo iki mami ndak gelem sinau,” ucap Irma putus asa.
“Lho, ndak lulus kamu Yus engkok,” ucap Dodik tertawa-tawa.
“Ngekos ndek ndi?” Tanya Oscar serasa dia ingin mampir mengantarku balik.
“Kalian ndak cari makan ta?, itu kosanku ndek sana,” ucapku masih lumayan jauh dari kos bimbel ke jalan utama Matos.
“Ayo ta anterin,” ucap Oscar lagi.
Dengan senang hati kami balik menjadi berempat.
Sesampai di kos, Oscar dan Dodik duduk di pintu depan pagar garasi.
Aku dan Irma makan disana, sedang Oscar dan Dodik hanya minum.
Obrolan-obrolan kami tertuang kurang lebih dua jam, sampai mereka lupa mau beli makan juga.
Keduanya pun berpamitan. Makan malam yang telat, kami pun tertawa, hahaha……
Singkat cerita, Oscar kuliah di UB, Irma di UMM, Dodik STIE Perbanas Surabaya dan aku UPNV Surabaya.
Kesuksesan kami berjalan saat kami sudah melewati masa-masa pelajar, kini Oscar bekerja sebagai Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB Bidang Tata Kelola Sektor Publik, Dodik bekerja sebagai karyawan tetap Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kota Probolinggo dan Irma bekerja sebagai ASN di Disnakertrans Pemerintah Kabupaten Probolinggo.

pernah suatu hari, saat aku pulang dari bimbel, dengan sedikit rasa cemburu, aku letakkan pada mbak iparku dulu yang masih menjadi pacar masku.
Ya, saat adeknya sakit kedinginan, kakakku menjenguk dengan pacarnya (sebelum pacaran dengan mbak ipar, aku lah mak comblang mereka). Dibelani  oleh masku perjalanan dari Surabaya hanya ingin waktunya untuk mbak ipar.
Kesannya masku seperti bersorak sorai melihat kondisiku, sakit kedinginan.
“Yok opo? Sek kepengen kuliah ndek kene (Malang) ta?,” tanyanya saat mampir di UNM.
Di parkiran motor aku dan Irma lelah usai melaksanakan bimbel hari pertama.
“Dewa sakit mas, ndak pernah sinau, ndak pernah mandi sore,” jawab Irma.
Sebutan saat aku di SMA berubah dari Dewi menjadi DEWA, ya karena aku fans berat DEWA.
“Aku kuliah nang Suroboyo, ae. Adem ndek sini, ndak kuat aku, enak Suroboyo panas podo mbek Probolinggo,” ucapku.
“Kandani kok, tambenng!!!” jawab masku mantap.
Sedang mbak ipar saat itu senyum-senyum dan tertawa-tawa.
Semakin pegel saja ini hati, mas datang tapi untuk pacarnya, bukan untuk adeknya. Padahal yang ngenalin mereka aku. Huh, sebel….. hahahhaa…..
Hari terakhir usai bimbel (lupa berapa hari aku bertahan di Malang untuk bimbel), langsung aku dan Irma dijemput Omku naik mobil berisi mbah Jum, Budhe Titin, Om Dedi. Mereka adalah ibu, kakak perempuan dan adek ipar mamiku.
“Iyo nduk lek ndak kuat di hawa dingin, kayak kamu, sakit,” mbah Jum membenarkan.
“Aku kuliah di Surabaya saja mbah,” ucapku.

Mulai detik itu, pikiranku berubah total. Aku mau kuliah di Surabaya.
Obrolan seusai bimbel pun terjadi (lagi).
Ya, usai lulus SMA aku seminggu pernah main di rumah bulek adek perempuan papi di daerah Buduran Sidoarjo. Selama seminggu di sana, aku menikmati suasana Sidoarjo. Diajak saudara sepupuku cowok, jalan-jalan ke sun city, GOR Delta, alun-alun, makan bakso di bawah jembatan layang Buduran, semua aku lewati tanpa ada halangan yang berarti. (baca: kedinginan) hahaha….
Aku merasakan udara Sidoarjo dan Surabaya cenderung sama seperti Kota Probolinggo, panas.
“Kuliah di UPN ae nduk, kumpul mbek mas Eka,” bulekku mengucapkan saat kami menikmati camilan sore.
“Dek Erik mo kuliah teng pundi, lek?” tanyaku.
Erik adalah anak kedua bulek Sri Bayatmi, seperti Ari Wibowo di keluarga besar kami mengibaratkan wajahnya. Memang Erik cowok ganteng, tinggi, tidak perokok, rajin sholat, baik, tapi pemalu. Erik seumuran denganku.
“Yo kalo ndak lulus SPMB, lek daftarkan nok UPN,” jelas bulekku.
“Aku mau kuliah sing kampuse akeh Chinese-chinese lek,” jawabku.
“Minta ke papimu, ndek Suroboyo onok Petra dan UBAYA, mbois iku nduk,” bulekku diamini anak perempuannya, adek Wiwit yang saat itu juga semester akhir jurusan sain biologi UNESA.
Singkat kata saat masku main dan melihat kondisiku di rumah bulek Buduran Sidoarjo bilang,
“Dek Rani iki kademen lek teng Malang pas ikut bimbel, dia pengen kuliah di Surabaya,” masku buka kartuku. Hahaha….
Semua warga serumah bulek ikut tertawa, tak terkecuali lek Gatot suami lek Bayat yang masih dinas di Angkatan Laut Surabaya.
“Iyo iki Rani pengen kuliah nang kampus Cino,” ujar lek Gatot.
“Neh aneh ae….. larang,” masku tertawa ngakak.
“Lho iyo ta, mahal ta??? Mosok seh???,” jawabku tidak yakin 1000%. Hahaha…..
Singkat cerita aku berkeinginan untuk kuliah di UK Petra atau UBAYA sesuai petunjuk bulek Bayat. Maklum tahun 2004 Thomas Cup waktu itu aku begitu ngefans dengan jagoan Cina, asal olahraga teplok bulu itu. Sebut saja ada ganda pria Fu Hai Feng dan Cay Yun, tunggal pria Lin Dan, Bao Cun Lai, tunggal wanita Xie Xing Fang, sampai akupun saat main bulu tangkis di depan rumahku, jalan gang (lapangan outdoor) teman-teman rumahku menyebutku Xie Xing Fang.

Sepulang dari rumah bulek Bayat di Buduran Sidoarjo, lagi-lagi obrolan kampus pun terjadi (lagi). “Pap, papi, aku kuliah di UK Petra atau UBAYA yaa pap,” ucapku semangat penuh optimis.
“UPN ae nduk, bareng sama mas Eka,” jawab papiku yang mendapat respon iya dari masku yang sedari ngobrol kampus dari pertama, kedua sampai ketiga kalinya selalu ada dia dan dia. Hahaha….
“Iya wes aku kuliah di UPN, pokok aku ndak mau sing ada hitung-hitungannya,” jawabku tetap semangat. Mengingat bakal kuliah di Malang, aku KO.
“Kamu iki aneh, ndi onok kuliah ndak onok itung-itungan e??? koncoku sing kuliah ndek komunikasi yo onok itung-itungan e,” jawab masku.
“Konco e sampeyan onok sing ndek komunikasi?, konco opo,? Tanyaku.
“KKN,” jawab masku singkat.
“Pap, papi, pokoknya aku ndak mau yang ada hitung-hitungan,” jelasku.
“Lha kamu SMA biyen yok opo? IPS lak itung-itungan seh? Ekonomi metrik, akuntansi, lak tung itungan iku?,” kata Masku yang berzodiac scorpio sama dengan aku itu.
“Pas aku SMA, lek ujian ekonomi, akuntansi yo q nyontek nang Irma,” jawabku menjelaskan Irma adalah teman sebangku saat kelas 3 SMA.
memang aku nyontek tapi gak semuanya lha yaaa.... intinya banyak nyonteknya, hahahaaa.....

“Sek yo ta telpon o Ina, arek komunikasi,” masku mulai beraksi.
Sembari menunggu masku telepon Ina, kami cukup mendengarkan.
“Jare Ina nok Komunikasi yo tetep onok itung-itungan e, tapi iku dasar, semester- semester selanjut e gak onok. Kan iku digawe hitung-hitungan e skripsi,” jelas masku.
“Yo wes Jon, ndang golekno brosur-brosur komunikasi, Jon,” ucap papiku yang mantap agar aku kuliah di jurusan komunikasi.
“Asssseeekkk…. Yo mau aku, komunikasi ae wes,” setujuku.
“Nah ngunu kan enak, ndak ngebet kuliah nang Malang garai papi mami bingung berkunjung anak-anak e,” sumringah masku.
“Wooooo……. Pancen kudu ngene, kademen disik, sakit, baru ndak gelem kuliah nang Malang,” ujarku disambut tertawa ngakak abang Bon Sak, julukan pebulu tangkis tunggal Tailand 2004 silam.
“Pancen neh aneh ae kamu,” tetap ngakak abang Bon Sak. Hihihihiiii…..
“Suroboyo, I’m cooooommmiiiinnngggg,” teriakku.