Berawal dari ngefans gitaris DEWA 19,
Andra Ramadhan, selain dia memiliki pribadi kalem, pendiam, pintar, rajin
shalat, wajah manis tidak tindik telinga, tidak bertato dan terakhir dia bukan
perokok, tentulah sangat menginspirasi aku saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP
(tahun 2003 waktu itu).
Sampai tibalah saatnya cinta-cintaan
monyet, dimulai kelas 3 SMP, ada yang naksir aku mulai dari sahabat cowok sendiri
sampai teman satu kelas, pokoknya dia bukan perokok aja, uda klepek-klepek hatiku.
Ya, sahabatku cowok pun berhasil
mendekatiku, pendaftaran masuk di SMAN 2 dia pun ikut, bimbingan belajar, dia
pun sama denganku, kita bimbel di Malang, tetapi beda tempat bimbelnya. Aku di
Universitas Negeri Malang (UNM), dia di Universitas Brawijaya (UB).
Saat bimbel dengan sahabat SMA, Irma,
aku jatuh sakit karena tidak tahan udara Kota Malang yang menurutku dingin. Berbeda
dengan kota asalku, daerah pesisir pantai tergolong panas. Saat Irma belajar
dengan seriusnya di kamar yang sama denganku, kami kos berdua di sekitar UNM
setelah sehari sebelumnya diantar orang tuaku.
“Mi ndak belajar?” tanya Irma.
Dia memanggilku sebutan mi karena
melihat aku memanggil mamaku dengan sebutan mami, jadi inginnya Irma
diibaratkan anakku, hahaha…..
Aku sendiri kala itu memanggilnya
dengan sebutan, mbak. Karena melihat dia dipanggil orang tuanya, mbak, hihihi…..
“Ndak mbak, aku kademen, sumpah ndak
kuat aku,” jawabku dibalik selimut menggigil.
“Lha terus, kalo sampeyan ndak lulus
ujian seleksi mahasiswa UB, piye?” tanyanya lagi heran.
“Ndak popo mbak, aku wes ndak gelem
kuliah nang Malang, aku kuliah nang Suroboyo ae,” jawabku kecewa.
Memang sebelum kelulusan SMA aku dulu
berangan-angan ingin melanjutkan studi S1 di Malang. Sangat cinta sekali dengan
kota itu. Mungkin disana pernah aku didekatin masnya temanku (cewek), dia
kuliah di UB Malang juga.
Masnya temanku naksir aku, tetapi
karena aku adalah temannya adeknya, dia hanya menjadi teman dekatku tidak
sampai pacaran.
Perasaanku waktu itu pada mas
temanku, biasa saja, suka hanya sebatas menemaniku karena aku tidak mau
kesepian. Biasalah yaa, anak remaja maunya jalan-jalan terus.
Terjadilah aku berambisi untuk
melanjutkan kuliah di Malang, agar aku dekat dengan dia, UB.
Sedangkan dalam percakapanku dengan
mas kandungku yang saat itu semester akhir jurusan teknik arsitektur UPN
Veteran Surabaya selalu dengan ambisinya mempengaruhiku agar aku kuliah di UPNV
Surabaya juga.
Dengan pertimbangan jika kita bisa
kuliah bersama di Surabaya apalagi di kampus yang sama, tentu memudahkan orang
tua yang ingin menjenguk anak-anaknya.
“Kuliah nang Suroboyo ae, dek!,” ucap
mas Eka di depan papiku.
“Ndak, Malang pokok’ e,” elakku
mantap.
“Wooo… iki…. Ben papi mami enak lho
lek ate nang Suroboyo. Iso sambaing anak dua sekaligus, aku sama kamu,” yakin
masku lagi.
“Nehik, Malang. Aku kuliah di Malang
aja lho pap, pokoknya pengen Malang. Papi kan dulu kuliah di UB, aku pengen di
UB juga pap,” ucapku tetap mengelak.
“Mosok papi ape riwa riwi
Malang-Suroboyo, bingung saiki jatah e Eka opo Rani, saaken lho,” masku dengan
menggebunya.
Betul, sering sekali papi melakukan
perjalanan dinas ke Kota Pahlawan untuk rapat-rapat, sosialisasi, kunker, dan
sebagainya.
Ya, memang orang tuaku tidak pernah
memaksakan kehendak anak-anaknya, mereka hanya mengarahkan saja apa yang
menjadi keinginan anak-anaknya.
“Wes Jon, Rani ben kuliah nang
Malang,” ucap papi mengiyakanku, Jon sebutan papi pada masku, Eka Sarjono.
Mungkin waktu itu masku kesel juga
kali yaa, karena keinginannya agar aku mengikuti kuliah di Surabaya,
terelakkan. Hahaha….
Nah, balik ke bimbel, jadi selama aku
bimbel di Malang setiap harinya gak pernah belajar. Uda aku niati, enggak lulus
UB yo wes, ben. Hihihi….
“Mi, gak maghriban?. Ayo golek maem,”
selesai Irma menunaikan sholat maghrib.
“Lho iyo mbak, maghriban, sek iki aku
kademen. Ta sholat disek yaa, biz gitu kita cari maem,” jawabku layu.
Penuh perjuangan aku ambil wudlu di
kamar mandi, maklum tiap sore aku tidak pernah mandi. Hanya gosok gigi dan
bersih-bersih wajah. Irmapun memakluminya, setelah aku cerita tidak pernah
mandi sore.
Mungkin daripada aku semakin
hipotermia, mati kaku, akhirnya Irma angguk-angguk kepala memaklumi. Hehehe…..
Yup, selesai kami sholat maghrib
berdua berjalan ke luar cari makan. Setelah pamitan ke ibu kos, kami melewati
pinggiran jalan belakang kampus UNM.
Sampai di jalan utama depan Matos, secepat
mungkin kami kembali berjalan balik melewati pinggiran jalan belakang kampus
UNM.
Seandainya kalau aku tidak sakit
kedinginan waktu itu, mungkin kami malah main-main aja tuh di Matos, waduuuhhh……
Perjalanan pulang beli makan, aku
menuju arah kos bimbel, berlawanan arah sekitar 200 meter dua orang cowok,
tinggi banget satunya tinggi standart cowok, agak menerka-nerka kami berempat.
“Lho mbak, iku Oscar mbek Dodik, ta?,”
tanyaku.
“Lho iyo Mi, koyo’e Oscar-Dodik,”
terka Irma juga.
Di arah berlawanan yang semakin dekat
juga mereka menerka.
Maklum kami berempat asli Probolinggo
tiba di kota tetangga tanpa ada saudara dan keluarga, tetiba ketemu di jalan berasa
bahagia anak perantauan waktu itu.
“Heh, Yus!” sapa Oscar panggilan
sahabat sejak SMPN 2, aku dipanggil Yustise oleh 8 orang sahabat.
Widji, Yatik, Wiwit, Puput, Oscar,
Dodik, Dicky dan aku menamakan kami Star Love sebagai nama sahabat.
“Ya ampun Oscar Dodik, kita ketemu
juga yaa disini, aku sakit Os,” ucapku girang bertemu dengannya.
“Kamu sakit apa, Yus?”, Tanya Oscar kaget.
“Kedinginan aku, Os,” sambil melihat
penampilanku memakai jaket hitam pas body, celana tujuh per delapan, kaos kaki
dan memakai sepatu sandal.
“Iyo iki mami ndak gelem sinau,” ucap
Irma putus asa.
“Lho, ndak lulus kamu Yus engkok,”
ucap Dodik tertawa-tawa.
“Ngekos ndek ndi?” Tanya Oscar serasa
dia ingin mampir mengantarku balik.
“Kalian ndak cari makan ta?, itu
kosanku ndek sana,” ucapku masih lumayan jauh dari kos bimbel ke jalan utama
Matos.
“Ayo ta anterin,” ucap Oscar lagi.
Dengan senang hati kami balik menjadi
berempat.
Sesampai di kos, Oscar dan Dodik
duduk di pintu depan pagar garasi.
Aku dan Irma makan disana, sedang
Oscar dan Dodik hanya minum.
Obrolan-obrolan kami tertuang kurang
lebih dua jam, sampai mereka lupa mau beli makan juga.
Keduanya pun berpamitan. Makan malam
yang telat, kami pun tertawa, hahaha……
Singkat cerita, Oscar kuliah di UB,
Irma di UMM, Dodik STIE Perbanas Surabaya dan aku UPNV Surabaya.
Kesuksesan kami berjalan saat kami
sudah melewati masa-masa pelajar, kini Oscar bekerja sebagai Dosen Fakultas
Ilmu Administrasi (FIA) UB Bidang Tata Kelola Sektor Publik, Dodik bekerja
sebagai karyawan tetap Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kota Probolinggo dan Irma
bekerja sebagai ASN di Disnakertrans Pemerintah Kabupaten Probolinggo.
pernah suatu hari, saat aku pulang dari bimbel, dengan
sedikit rasa cemburu, aku letakkan pada mbak iparku dulu yang masih menjadi
pacar masku.
Ya, saat adeknya sakit kedinginan,
kakakku menjenguk dengan pacarnya (sebelum pacaran dengan mbak ipar, aku lah
mak comblang mereka). Dibelani oleh
masku perjalanan dari Surabaya hanya ingin waktunya untuk mbak ipar.
Kesannya masku seperti bersorak sorai
melihat kondisiku, sakit kedinginan.
“Yok opo? Sek kepengen kuliah ndek
kene (Malang) ta?,” tanyanya saat mampir di UNM.
Di parkiran motor aku dan Irma lelah
usai melaksanakan bimbel hari pertama.
“Dewa sakit mas, ndak pernah sinau,
ndak pernah mandi sore,” jawab Irma.
Sebutan saat aku di SMA berubah dari
Dewi menjadi DEWA, ya karena aku fans berat DEWA.
“Aku kuliah nang Suroboyo, ae. Adem ndek
sini, ndak kuat aku, enak Suroboyo panas podo mbek Probolinggo,” ucapku.
“Kandani kok, tambenng!!!” jawab
masku mantap.
Sedang mbak ipar saat itu
senyum-senyum dan tertawa-tawa.
Semakin pegel saja ini hati, mas
datang tapi untuk pacarnya, bukan untuk adeknya. Padahal yang ngenalin mereka
aku. Huh, sebel….. hahahhaa…..
Hari terakhir usai bimbel (lupa
berapa hari aku bertahan di Malang untuk bimbel), langsung aku dan Irma
dijemput Omku naik mobil berisi mbah Jum, Budhe Titin, Om Dedi. Mereka adalah
ibu, kakak perempuan dan adek ipar mamiku.
“Iyo nduk lek ndak kuat di hawa
dingin, kayak kamu, sakit,” mbah Jum membenarkan.
“Aku kuliah di Surabaya saja mbah,” ucapku.
Mulai detik itu, pikiranku berubah
total. Aku mau kuliah di Surabaya.
Obrolan seusai bimbel pun terjadi
(lagi).
Ya, usai lulus SMA aku seminggu
pernah main di rumah bulek adek perempuan papi di daerah Buduran Sidoarjo. Selama
seminggu di sana, aku menikmati suasana Sidoarjo. Diajak saudara sepupuku
cowok, jalan-jalan ke sun city, GOR Delta, alun-alun, makan bakso di bawah
jembatan layang Buduran, semua aku lewati tanpa ada halangan yang berarti.
(baca: kedinginan) hahaha….
Aku merasakan udara Sidoarjo dan
Surabaya cenderung sama seperti Kota Probolinggo, panas.
“Kuliah di UPN ae nduk, kumpul mbek
mas Eka,” bulekku mengucapkan saat kami menikmati camilan sore.
“Dek Erik mo kuliah teng pundi, lek?”
tanyaku.
Erik adalah anak kedua bulek Sri
Bayatmi, seperti Ari Wibowo di keluarga besar kami mengibaratkan wajahnya. Memang
Erik cowok ganteng, tinggi, tidak perokok, rajin sholat, baik, tapi pemalu. Erik
seumuran denganku.
“Yo kalo ndak lulus SPMB, lek daftarkan
nok UPN,” jelas bulekku.
“Aku mau kuliah sing kampuse akeh Chinese-chinese
lek,” jawabku.
“Minta ke papimu, ndek Suroboyo onok
Petra dan UBAYA, mbois iku nduk,” bulekku diamini anak perempuannya, adek Wiwit
yang saat itu juga semester akhir jurusan sain biologi UNESA.
Singkat kata saat masku main dan
melihat kondisiku di rumah bulek Buduran Sidoarjo bilang,
“Dek Rani iki kademen lek teng Malang
pas ikut bimbel, dia pengen kuliah di Surabaya,” masku buka kartuku. Hahaha….
Semua warga serumah bulek ikut
tertawa, tak terkecuali lek Gatot suami lek Bayat yang masih dinas di Angkatan
Laut Surabaya.
“Iyo iki Rani pengen kuliah nang
kampus Cino,” ujar lek Gatot.
“Neh aneh ae….. larang,” masku
tertawa ngakak.
“Lho iyo ta, mahal ta??? Mosok seh???,”
jawabku tidak yakin 1000%. Hahaha…..
Singkat cerita aku berkeinginan untuk
kuliah di UK Petra atau UBAYA sesuai petunjuk bulek Bayat. Maklum tahun 2004 Thomas
Cup waktu itu aku begitu ngefans dengan jagoan Cina, asal olahraga teplok bulu
itu. Sebut saja ada ganda pria Fu Hai Feng dan Cay Yun, tunggal pria Lin Dan,
Bao Cun Lai, tunggal wanita Xie Xing Fang, sampai akupun saat main bulu tangkis
di depan rumahku, jalan gang (lapangan outdoor) teman-teman rumahku menyebutku
Xie Xing Fang.
Sepulang dari rumah bulek Bayat di
Buduran Sidoarjo, lagi-lagi obrolan kampus pun terjadi (lagi). “Pap, papi, aku
kuliah di UK Petra atau UBAYA yaa pap,” ucapku semangat penuh optimis.
“UPN ae nduk, bareng sama mas Eka,” jawab
papiku yang mendapat respon iya dari masku yang sedari ngobrol kampus dari
pertama, kedua sampai ketiga kalinya selalu ada dia dan dia. Hahaha….
“Iya wes aku kuliah di UPN, pokok aku
ndak mau sing ada hitung-hitungannya,” jawabku tetap semangat. Mengingat bakal
kuliah di Malang, aku KO.
“Kamu iki aneh, ndi onok kuliah ndak
onok itung-itungan e??? koncoku sing kuliah ndek komunikasi yo onok itung-itungan
e,” jawab masku.
“Konco e sampeyan onok sing ndek
komunikasi?, konco opo,? Tanyaku.
“KKN,” jawab masku singkat.
“Pap, papi, pokoknya aku ndak mau
yang ada hitung-hitungan,” jelasku.
“Lha kamu SMA biyen yok opo? IPS lak
itung-itungan seh? Ekonomi metrik, akuntansi, lak tung itungan iku?,” kata
Masku yang berzodiac scorpio sama dengan aku itu.
“Pas aku SMA, lek ujian ekonomi,
akuntansi yo q nyontek nang Irma,” jawabku menjelaskan Irma adalah teman
sebangku saat kelas 3 SMA.
memang aku nyontek tapi gak semuanya lha yaaa.... intinya banyak nyonteknya, hahahaaa.....
“Sek yo ta telpon o Ina, arek
komunikasi,” masku mulai beraksi.
Sembari menunggu masku telepon Ina,
kami cukup mendengarkan.
“Jare Ina nok Komunikasi yo tetep
onok itung-itungan e, tapi iku dasar, semester- semester selanjut e gak onok. Kan
iku digawe hitung-hitungan e skripsi,” jelas masku.
“Yo wes Jon, ndang golekno
brosur-brosur komunikasi, Jon,” ucap papiku yang mantap agar aku kuliah di
jurusan komunikasi.
“Asssseeekkk…. Yo mau aku, komunikasi
ae wes,” setujuku.
“Nah ngunu kan enak, ndak ngebet
kuliah nang Malang garai papi mami bingung berkunjung anak-anak e,” sumringah
masku.
“Wooooo……. Pancen kudu ngene, kademen
disik, sakit, baru ndak gelem kuliah nang Malang,” ujarku disambut tertawa
ngakak abang Bon Sak, julukan pebulu tangkis tunggal Tailand 2004 silam.
“Pancen neh aneh ae kamu,” tetap
ngakak abang Bon Sak. Hihihihiiii…..
“Suroboyo, I’m cooooommmiiiinnngggg,”
teriakku.