Pecah ketuban
di Mushola kantorku, pada 28 September 2017 sekitar pukul 2 siang lebih
menginjak waktu sore, membuat aku panik. Aku pikir cairan yang keluar banyak
itu darah, nyatanya bukan. Cairan putih itu adalah air ketuban.
Air ketuban adalah cairan yang melindungi dan
menopang saat janin tumbuh di dalam rahim. Di antaranya untuk melindungi janin
dari benturan, membantu perkembangan tungkai, otot, paru-paru, dan sistem
pencernaan janin. Air ketuban terletak di dalam kantung ketuban.
(Sumber : https://www.google.com/search?q=air+ketuban+adalah&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab).
Karena aku kepayahan
setelah menyelesaikan administrasi kegiatan workshop PT. Indosat yang digelar
sehari sebelumnya, akupun tertidur pulas di Mushola kantor dengan masih mengenakan
mukena, setelah selesai menunaikan shalat dhuhur.
Kondisi hamil
besar, membuatku cepat merasakan keletihan. Hal ini membuat teman-temanku
memakluminya. Hingga tibalah giliran Carolina membangunkanku, “Dew, Dewik
geseran Dew!,” pintanya. Akupun bangun dan mulai bergeser mendekati dinding
ruang kabidku. “Sik yo Lin pelan-pelan, abot,” ucapku.
Belum satu
menit aku bergeser, tiba-tiba saja “Tus” seperti balon yang ditusuk jarum keluarlah
air ketuban itu, banyak sekali. Spontan saja aku berdiri dan memamnggil nama
temanku yang baru saja selesai shalat dhuhur. “Lin, Lina, iki opo Lin?,”
tanyaku panik. “Opone Dew, endi,” Tanya Lina Balik.
“Iki lho
lin, abang (merah, red) ta....?, iki
metu akeh lin,” lanjutku yang semakin panik. “Endi Dew, gak ono warna e
iku....,” jelas Lina.
“Oalah iki
ketuban berarti Lin, ketubanku pecah Lin,” kaget aku. Selanjutnya aku memanggil
Lina yang sejatinya hanya ada dia saja, kami berdua di Mushola kupanggil-panggil
namanya, tapi aku lupa nama dia “CAROLINA” hahaha....
“Sopo
jenengmu?? Jenengmu sopo???,” Tanyaku berulang. Lina pun ikut panik, “Kenopo
Dew??,” masih ikut panik juga dia, hahahahaaa...
“Jenengmu
iku sopo??,” tanyaku sambil agak marah. “Lina, Dew, aku Lina,” teriak Lina,
wkwkkwkwkkkk....
Langsung aku
agak teriak juga, “Ya ampun lin, aku sampek lali jenengmu, iki lho Lin ketubanku
pecah!,” masih tidak percaya dengan kondisiku waktu itu kenapa sampai pecah
ketuban di saat kehamilanku masih berusia 8 bulan.
Akupun dituntun
Carolina menuju tempat duduk meja kerjaku. Serentak kabar pecah ketubanku
langsung terdengar teman-teman kantor.
Mereka mendatangi
tempat dudukku. Dibalik mejaku, aku langsung menangis. Perasaan takut, cemas, panik,
bingung, semuanya mengahantuiku sepanjang aku menenangkan diri. Tapi bukannya
malah tenang, yang ada semakin dan semakin bingung.
“Iyo Dik
digawe lungguh ae, anakku telu-telune yo ketuban e pecah disik sebelum lahiran.
Gak oleh mondar mandir, wedine banyune metu terus,” Saran Bu Evi Kasi Pelayanan
Informasi mendekatiku.
Dan anehnya
hari itu seperti hari-hari biasa waktu menginjak sore, kondisi kantor sepi. Yang
biasanya Edwin Bendahara Pengeluaran membawa mobil, hari itu tidak. Pak Sitrin
Kabidku yang membawa mobilpun, tidak juga membawa hari itu.
“Mbak Dew,
iku onok mobil pick-up, tak terno nang RSUD yo,” tawar Edwin. Memang di
kantorku ada mobil operasional barang-barang apabila ada giat kantor yang
membawa soundsystem, meja kursi, dsb.
“Ndak Ko,
aku adoh-adohan mbek bojoku, aku pengen diterno wong tuoku ae,” tolakku. Aku dan
teman-teman memang memanggilnya Koko, sebutan pemilik toko ATK, chinese. Hahaha....
Kejadian
aneh pick up yang distater tapi tidak bisa pun, seolah memang takdirnya aku
harus diantar orang tuaku. Memang akupun menolak jika harus diantar mobil pick
up, atau mobil sekretaris dinas yang parkir di halaman kantor.
“Pap, papi,
ketubanku pecah pap,” segera aku menelepon papiku. “Opo nduk? Ban e pecah?, iyo
engkok disusul Indra yo nduk” jawab papiku yang baru bangun tidur dari
istrirahat siang jam setengah 3 sore. Aku masih tidak sadar kalo papiku
menjawab ban pecah, tapi aku tanda tanya kenapa dijemput Indra....
“Iya pap,
ketubanku pecah, gimana ya pap??,” tanyaku lagi. “Lhoooo... ketuban pecah??? Iyo
nduk, Bapak sama Mama maringene nang kantormu,”.
Cepat banget
aku langsung dijemput orang tuaku, hitungan 10 menit mereka langsung sampai menjemputku,
yang sedari aku tutup telepon langsung duduk di kursi ruang tamu kantor dibantu
banyak teman-teman yang masih tersisa di kantor.
“Langsung
kita ke RSUD ya pak,” ajak Pak Sitrin ngobrol dan salaman dengan orang tuaku.
Pak Sitrin
adalah Kepala Bidangku, Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi. Beliau yang
meyakinkanku untuk lahiran anak kedua di RSUD. Sebelumnya aku menginginkan
lahiran di bidan, ditolaknya secara halus dengan memberikan keyakinan bahwa
RSUD pelayanannya sudah jauh lebih baik daripada Tahun 2012 aku melahirkan anak
pertama.
Di dalam
mobil, turut Sonea teman Prahum terus menggenggam tanganku selama perjalanan
menuju RSUD. “Sabar ya Ci, terus bersholawat Ci,” ingat Nea kala itu. “Iyo Ci,”
terus saja aku menangis.
“Iki mbak
Nea penyiar Suara Kota itu ya?,” tanya mamiku. “Enggeh bu,” senyum Nea.
Kira-kira
perjalanan hanya 1 km itu diselimurkan dengan obrolan mamiku dan Sonea,
sementara aku hanya mampu bersholawat terus dan terus.
Sesampai di
RSUD dr. Moch. Saleh, satu-satunya rumah sakit pemerintah yang beralamatkan di
Jalan Panjaitan itu, bergegas aku di sambut ranjang roda oleh beberapa perawat
RSUD.
“Langsung ke
UGD ya,” tindakan perawat itu dengan cepat.
Pasang gelang
pasien, buka celana hamil hitam, pasang infus, ambil sampel darah, tensi
tekanan darah, semua tindakan itu begitu cepat.
Bolak balik
kedua orang tuaku diikuti Pak Sitrin amping-amping
pintu kamar UGD, sesekali aku melihat mereka ngobrol bersama.
Sementara di
dalam kamar UGD aku ditemani Sonea, sambil foto-foto tanganku yang sudah
terpasang gelang pasien dan ternyata di upload juga di WA grup kantor, WA grup
Prahum kota dan Facebook olehnya, hahahaaa...
Masih aja ya
mikir up to date, temannya lagi
merasakan ketakutan dan kepanikan mendalam sambil terus agak nahan tangis dan
kegelisahan dalam hatiku, “aku enggak mau di opearasi caesar!”.